Unjuk Rasa Ala Kang Inal

Written by Zulkomar 0 komentar Posted in:

Namanya Zainal Badri, biasa dipanggil Kang Inal. Hari itu, 28 Januari 2010 ia mendapatkan izin dari perusahaannya untuk ikut dalam barisan unjuk rasa di Istana Negara. Kang Inal bukanlah penggerak unjuk rasa, bukan pula koordinator lapangan. Bahkan ia tidak kenal siapa penggerak dan siapa korlapnya. Baginya, hari ini hanyalah sebuah berkah karena ia bisa terbebas dari pekerjaan rutin memotong kulit di pabrik sepatu. Ia pun mendapatkan uang transport Rp. 75.000,-, padahal telah disediakan 5 metromini untuk mengangkut mereka ke Istana Negara.

Mereka sibuk mengambil spanduk dan pamflet yang disediakan. ”Kang Inal ...! disini saja”. Kemudian teman yang lain juga memanggil, ”Kita bawa spanduk ini aja Kang..!”

Kang Inal melirik spanduk besar yang bertuliskan, ”Turunkan SBY-Boediono”. Kata Kang Inal dalam hati, ”Kalau mereka turun yang mau naik siapa ? Rakyat udah capek memilih, mau disuruh memilih lagi?” lalu ia beranjak ke Spanduk yang lain bertuliskan, ”SBY-Boediono Boneka Amerika”. Kang Inal tersenyum pada teman-teman yang membawa spanduk tersebut dan berkata, ”bukannya kita-kita yang selama ini jadi boneka pengusaha ?”

Sulit sekali bagi Kang Inal untuk mendapatkan bunyi spanduk dan pamflet yang sesuai keinginannya. ”Kita ini mau unjuk rasa kan untuk menyampaikan aspirasi kita pada pemerintah, tapi bunyi spanduk kok caci maki semua sih,” keluh Kang Inal dalam hati. Setelah membolak balik berbagai pamflet Akhirnya Kang Inal memilih untuk membawa pamflet yang bertuliskan, ”Buruh Selalu Menjadi Korban”

Pengunjuk rasa naik berdesak-desakan di dalam dan di atas kap metromini. Kang Inal yang lebih dituakan mendapat tempat duduk. Sesak dan panas, sama seperti hari-harinya dari rumah ke pabrik. Sambil mengipas-ngipas dengan pamplet, Kang Inal membayangkan bagaimana repotnya masyarakat mendapatkan kendaraan umum, karena sebahagian telah disewa oleh para pengunjuk rasa. ”Maafkan kalau itu karena aku.”

Kang Inal telah berada di tengah-tengah kerumunan massa. Kadang-kadang ia terseret ke depan kadang-kadang terlempar ke belakang. Ia melihat bagaimana massa saling mendorong dengan aparat keamanan. Massa ingin melewati batas yang ditentukan sementara aparat mencegah jangan sampai massa melanggar hukum dengan melewati batas garis yang ditentukan. Kang Inal hanya berharap semoga saja aparat tidak terpancing dengan sikap dan kata-kata pengunjukrasa yang semakin provokatif.

Kang Inal mulai gerah dengan suasana yang tidak menentu itu. Teriakan kata-kata lewat pengeras suara semakin kehilangan etika. Presiden yang mereka pilih sendiri, mereka teriaki maling. Boediono dan Sri Mulyani mereka kerandakan. Kang Inal mulai bertanya-tanya, apa yang ingin kita sampaikan dalam unjuk rasa ini ? Akhirnya Kang Inal sampai pada kesimpulan bahwa satu setengah jam di depan Istana Negara, massa ternyata tidak menyampaikan apa-apa selain caci maki dan sumpah serapah. Sebenarnya siapa yang berbuat bagi negeri ini ? Pengunjukrasa atau yang diunjukrasai ?

”Saya datang untuk berunjukrasa, saya harus berbuat, minimal mendorong para pejabat untuk berbuat lebih baik. Saya tidak mau kehadiran saya di sini sia-sia.” Kang Inal berusaha keluar dari kerumunan, mengambil jalan ke samping, mendekati aparat keamanan dan memberikan pamflet (Buruh Selalu Dikorbankan) kepada seseorang yang ia yakini adalah Komandan SSK (Satuan Setingkat Kompi), lalu pulang meninggalkan kebisikan yang semakin tidak jelas.

Kang Inal ternyata tidak langsung pulang. Ia mampir ke toko buku Gunung Agung. Ia berputar-putar dari satu rak buku ke rak buku lainnya, tetapi tidak menemukan yang ia cari. Kepada penjaga buku ia bertanya, ”Saya mencari buku, Etika Berunjukrasa.”

Semua buku tentang etika ada di sini Pak, kecuali buku ”Etika Berunjukrasa”. (Bung Komar, 8 Pebruari 2010)

0 komentar:

Posting Komentar