”Tsunami kecil di pagi buta (Jumat, 27 Maret 2009, pukul 05.00 WIB) menjadi petaka bagi warga sekitar Danau Situ Gintung, Cireundeu, Tangerang Selatan.” Begitu bunyi lead dari Headline Suratkabar Seputar Indonesia edisi 28 Maret 2009.

Lewat layar kaca masyarakat mengikuti perkembangan berita dengan hati yang teramat pilu, tetes airmata tanpa sadar mengalir menyaksikan isak tangis mereka yang kehilangan keluarga dan harta benda. Melalui gambar animasi terlihat bagaimana tanah Tanggul Situ Gintung di daerah ketinggian jebol, jatuh dan runtuh kemudian air dengan kapasitas 1,5 juta kubik tumpah ruah mengalir deras seperti amukan air yang tidak kompromis. Entah berapa kilometer perjam derasnya aliran air, yang pasti ia sanggup menghantam ratusan rumah hingga rata dengan tanah dan menewaskan hampir seratus warga yang masih tertidur lelap.

Tragedi Situ Gintung adalah tiket yang teramat mahal. Ada yang secara sadar dan terencana mendapatkan tiketnya, tetapi lebih banyak adalah mereka yang mendapatkan diluar kehendak mereka. Tiket ada pada mereka secara niscaya melalui ketentuan Ilahi. Tragedi Situ Gintung adalah tiket resmi bagi 99 orang atau lebih korban untuk kembali ke haribaan Sang Pencipta, tiket berobat bagi ratusan korban luka berat dan ringan, tiket pencarian dan penyisiran bagi mereka yang hilang, tiket pergantian yang layak bagi mereka yang kehilangan rumah dan harta benda, tiket peringatan bagi pemerintah dan pengembang untuk tidak lagi mengubah peruntukan lahan pertanian menjadi pemukiman, tiket bagi kita semua untuk peduli dengan penderitaan sesama sekaligus menanamkan kesadaran menjaga lingkungan hidup.

Jebolnya Tanggul Situ Gintung adalah tragedi yang patut diratapi dan ditanggulangi, karena itu banyak pula yang merebut tiket untuk mempertontonkan kepeduliannya. Partai-partai politik dengan calegnya melihat tragedi Situ Gintung sebagai tiket gratis meraih simpati massa melalui bantuan evakuasi dan bahan makanan, bahkan dengan mendirikan posko bantuan lengkap dengan atribut partai dan nomor calegnya. Tragedi Situ Gintung juga dijadikan ajang untuk saling mempersalahkan, mencari institusi yang paling bertanggungjawab. Tanggungjawab bukan dalam artian sikap moral untuk siap mengatasi permasalahan, tetapi tanggungjawab dalam artian penyebab terjadinya tragedi. Bangsa ini senang sekali mencari siapa yang bersalah dan ketika sepakat tentang siapa yang bersalah sepertinya tragedi telah usai dan semua kembali dalam hiruk pikuk kepentingannnya masing-masing.

Jika kita menganggap tragedi tsunami 26 Desember tahun 2004 di Nanggroe Aceh Darussalam sebagai episode pembuka pemerintahan SBY-JK, maka tragedi Situ Gintung dan Banjir Bandang di Tanah datar, Sumatera Barat kita harapkan sebagai episode penutupnya. Episode pemerintahan SBY-JK melekat dekat berbagai peristiwa kemanusiaan, tsunami. Lumpur lapindo, gempa di yokyakarta, gempa di papua dan daerah-daerah lain, kebakaran plumpang dan bencana banjir di berbagai daerah. Semua itu terjadi bahkan ditengah-tengah krisis global. Mungkin Tuhan merestui dan mengutus SBY-JK menjadi pemimpin Indonesia untuk mengatasi berbagai persoalan bangsa tersebut. Jika demikian, tidak mustahil bahwa tragedi Situ Gintung adalah tiket SBY-JK untuk membuktikan bahwa duet tersebut mampu mengatasi permasalah kemanusiaan dan siap untuk memimpin kembali republik ini pada lima tahun kedepan.

Tragedi Situ Gintung bisa juga menjadi tiket terakhir duet SBY-JK. Duet ini sukses mengatasi berbagai dampak gempa dan tsunami Aceh di awal pemerintahannya dan ditutup dengan tragedi Situ Gintung. Kita harapkan tak ada lagi petaka besar yang menimpah bangsa ini di tahun-tahun mendatang.

Tanjung Priok, 1 April 2009

Read more