Mantan tokoh sekaligus pendiri Organisasi Papua Merdeka (OPM), Nicolaas Jouwe akan kembali ke pangkuan Ibu Pertiwi. Kembalinya Nicolaas Jaouwe ke Indonesia bukanlah rencana yang tiba-tiba, melainkan bagian dari serangkaian usaha pemerintah RI untuk membangun perdamaian di Tanah Papua seperti perdamaian yang telah dicapai antara Pemerintah RI dengan Gerakan Aceh Merdeka.

Nicolaas Jouwe adalah figur central dibalik gerakan Organisasi Papua Merdeka. Nicolaas pulalah yang membuat bendera Bintang Kejora yang pertama kali dikibarkan pada tanggal 1 Desember 1961. Momentum inilah yang selalu diklaim pemimpin Papua bahwa negara Papua pernah ada namun dirampok oleh konspirasi internasional, Indonesia, Amerika dan Belanda. Inilah yang terus diperjuangkan oleh Nicolaas agar hak-hak orang Papua untuk menentukan nasib sendiri sebagai bangsa yang merdeka di hormati.

Seiring perjalanan waktu dan perjuangan yang tampak sia-sia, serta melihat kenyataan bahwa orang-orang Papua jauh tertinggal baik dalam pendidikan dan kemajuan secara ekonomi serta semakin merajalelanya korupsi yang semakin memiskinkan rakyat Papua. Nicolaas kemudian menyadari bahwa setelah duapertiga negara anggota dalam Sidang Umum PBB menerima hasil Pepera 1969, yang berarti suka atau tidak suka, bangsa Papua telah menjadi bagian integral dari Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Setelah melihat perubahan kebijakan pemerintah pusat terhadap Papua dan hasil-hasil pembangunan yang telah dicapai selama ini, maka dengan keyakinan yang mantap Nicolaas Jouwe memenuhi undang Presiden RI, Susilo Bambang Yudhoyono. Pada tanggal 17 Maret 2009 keluarga Nicolaas Jouwe kembali ke papua setelah kurang lebih 50 tahun bermukim di Belanda. Sebelum kembali ke Belanda Nicolaas menyempatkan diri beraudiensi dengan SBY di Jakarta.
Kembalinya Nicolaas kali ini merupakan hasil kerjasama antara kelompok independen pendukung keutuhan Papua dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia (Independent Group Supporting The Autonomous Region of Papua with The Republic of Indonesia) dengan pemerintah Indonesia. Dalam kesempatan bertemu dengan Menko Kesra Agung Laksono (senin, 25 Januari 2010), Nicolaas yang didampingi oleh Dubes Indonesia untuk Kerajaan Belanda JE Habibie menyampaikan beberapa pokok pikirannya tentang masa depan Papua yang nantinya akan disampaikan kepada Bapak Presiden SBY.

Nicolaas menegaskan agar status kewarganegaraannya dapat dipercepat, karena saya ingin membantu mendatangkan masa depan yang lebih baik bagi Papua, yaitu bagian yang tidak terpisahkan dari Republik Indonesia. Lebih lanjutnya Nicolaas menuturkan, OPM sebenarnya suatu kata mati yang tidak punya arti apa-apa. Namun karena selalu digembar gemborkan, sehingga seolah-olah organisasi itu masih eksis, dan terkesan menjadi simbol perjuangan orang Papua.

Kita tentu berharap banyak bahwa OPM yang selama ini didengungkan oleh pendukung dan simpatisan sebagai harga mati, sungguh-sungguh berubah menjadi kata mati sehingga dengan kehadiran Nicolaas di Papua akan sangat membantu kemajuan masyarakat Papua dan tegaknya integritas Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Selamat datang Nicolaas Jouwe. Jika selama 40 tahun lebih ibu pertiwi menangis karena pemikiranmu untuk keluar meninggalkannya, sekarang ibu pertiwi menangis terharu karena engkau telah kembali ke pangkuannya. Kehadiranmu kembali di Tanah Papua tentu akan menegaskan pada dunia bahwa secara politik dan moral engkau telah menerima Papua sebagai bagian integral NKRI. (Bung Komar, 27 januari 2010)

Read more

Unjuk Rasa Ala Kang Inal

Written by Zulkomar 0 komentar Posted in:

Namanya Zainal Badri, biasa dipanggil Kang Inal. Hari itu, 28 Januari 2010 ia mendapatkan izin dari perusahaannya untuk ikut dalam barisan unjuk rasa di Istana Negara. Kang Inal bukanlah penggerak unjuk rasa, bukan pula koordinator lapangan. Bahkan ia tidak kenal siapa penggerak dan siapa korlapnya. Baginya, hari ini hanyalah sebuah berkah karena ia bisa terbebas dari pekerjaan rutin memotong kulit di pabrik sepatu. Ia pun mendapatkan uang transport Rp. 75.000,-, padahal telah disediakan 5 metromini untuk mengangkut mereka ke Istana Negara.

Mereka sibuk mengambil spanduk dan pamflet yang disediakan. ”Kang Inal ...! disini saja”. Kemudian teman yang lain juga memanggil, ”Kita bawa spanduk ini aja Kang..!”

Kang Inal melirik spanduk besar yang bertuliskan, ”Turunkan SBY-Boediono”. Kata Kang Inal dalam hati, ”Kalau mereka turun yang mau naik siapa ? Rakyat udah capek memilih, mau disuruh memilih lagi?” lalu ia beranjak ke Spanduk yang lain bertuliskan, ”SBY-Boediono Boneka Amerika”. Kang Inal tersenyum pada teman-teman yang membawa spanduk tersebut dan berkata, ”bukannya kita-kita yang selama ini jadi boneka pengusaha ?”

Sulit sekali bagi Kang Inal untuk mendapatkan bunyi spanduk dan pamflet yang sesuai keinginannya. ”Kita ini mau unjuk rasa kan untuk menyampaikan aspirasi kita pada pemerintah, tapi bunyi spanduk kok caci maki semua sih,” keluh Kang Inal dalam hati. Setelah membolak balik berbagai pamflet Akhirnya Kang Inal memilih untuk membawa pamflet yang bertuliskan, ”Buruh Selalu Menjadi Korban”

Pengunjuk rasa naik berdesak-desakan di dalam dan di atas kap metromini. Kang Inal yang lebih dituakan mendapat tempat duduk. Sesak dan panas, sama seperti hari-harinya dari rumah ke pabrik. Sambil mengipas-ngipas dengan pamplet, Kang Inal membayangkan bagaimana repotnya masyarakat mendapatkan kendaraan umum, karena sebahagian telah disewa oleh para pengunjuk rasa. ”Maafkan kalau itu karena aku.”

Kang Inal telah berada di tengah-tengah kerumunan massa. Kadang-kadang ia terseret ke depan kadang-kadang terlempar ke belakang. Ia melihat bagaimana massa saling mendorong dengan aparat keamanan. Massa ingin melewati batas yang ditentukan sementara aparat mencegah jangan sampai massa melanggar hukum dengan melewati batas garis yang ditentukan. Kang Inal hanya berharap semoga saja aparat tidak terpancing dengan sikap dan kata-kata pengunjukrasa yang semakin provokatif.

Kang Inal mulai gerah dengan suasana yang tidak menentu itu. Teriakan kata-kata lewat pengeras suara semakin kehilangan etika. Presiden yang mereka pilih sendiri, mereka teriaki maling. Boediono dan Sri Mulyani mereka kerandakan. Kang Inal mulai bertanya-tanya, apa yang ingin kita sampaikan dalam unjuk rasa ini ? Akhirnya Kang Inal sampai pada kesimpulan bahwa satu setengah jam di depan Istana Negara, massa ternyata tidak menyampaikan apa-apa selain caci maki dan sumpah serapah. Sebenarnya siapa yang berbuat bagi negeri ini ? Pengunjukrasa atau yang diunjukrasai ?

”Saya datang untuk berunjukrasa, saya harus berbuat, minimal mendorong para pejabat untuk berbuat lebih baik. Saya tidak mau kehadiran saya di sini sia-sia.” Kang Inal berusaha keluar dari kerumunan, mengambil jalan ke samping, mendekati aparat keamanan dan memberikan pamflet (Buruh Selalu Dikorbankan) kepada seseorang yang ia yakini adalah Komandan SSK (Satuan Setingkat Kompi), lalu pulang meninggalkan kebisikan yang semakin tidak jelas.

Kang Inal ternyata tidak langsung pulang. Ia mampir ke toko buku Gunung Agung. Ia berputar-putar dari satu rak buku ke rak buku lainnya, tetapi tidak menemukan yang ia cari. Kepada penjaga buku ia bertanya, ”Saya mencari buku, Etika Berunjukrasa.”

Semua buku tentang etika ada di sini Pak, kecuali buku ”Etika Berunjukrasa”. (Bung Komar, 8 Pebruari 2010)

Read more